sajak episode hujan

Senggama Pucuk Mimpi, Amour

Seperti menjilati bulu matamu yang tak kunjung berasa asam

tubuhmu masih menyisakan ribuan kelok kata-kata

Kendang di dadamu terus bertalu hingga

orang-orang kesurupan kelakarmu lewat daun mata

yang menghijau di pucuk mimpi


Hingga para awan bergeol menabur serpihan perak,

orang-orang basah lalu nggigil menunggu petang yang hangat


Kau pun seperti rembulan yang tak sempat mengenakan make up

tiba-tiba wajahmu harus terbingkai di galeri berdinding gulita

ya….alismu lalu

menanggalkan tetes arak di kolam bibirku

bibir

bibirmu yang tak pernah basah oleh lumpur dan dingin cuaca,

ayat-ayatmu mengajakku menari di sebuah

ruang kaca dimana aku bisa menjumpaimu setiap lengkung gerak

angin dan hujan


Jogja, Des 06


Memoar

-kakek

Lantak, terbuyar asin keringat

namamu masih menyisakan serpihan perak di lubuk kepala

mengingatmu, lalu

matahari ketlingsut di rel kereta api

mengingatmu

kemejamu yang lengannya rusak sebelah

dilahap abu anak masa

dijadikan boneka di kamar kenangan

lagu dan mainan

juga handphone yang kesakitan lalu

kau balut perban

komputer yang berdarah di kepalamu

aih…mengingatmu lalu

senar gitar yang tak pernah mau kau petik

telinga yang tak pernah rela mendengar lagumu

menggema

serbuk ruang ungu menaburi matamu

debu dan sayatan yang tak lalu

menungguimu lelap

sarapan debu katakata dan kelu

minum genangan air mata dan tawa

sisa makan, gelas dan air lalu

anak kecil yang selalu minta makan di tengah malam

kini

belulangnya keropos dirayap batu

tak keburu berkarat jangkar di karangmu

mengingatmu lalu

hujan malammalam


Poetika, akhir Desember 06


Rembulan Gumpil Wajahnya

Ada yang lesap di pagi buta

berpusingan angka angka

dan tinta genangi kepala

ada yang meringis di kolong bau bacin

di tubuhnya berserakan syahadat musim kemarau

-Rembulan gumpil wajahnya

bertopeng angka tahun


Orang orang bicara buku dan lagu klasik

dengan benak yang melulu petak

orang orang menggambar bunga dan ranting kering di halaman depan

yang lainnya sibuk memunguti bayangan sendiri di riuh lampu merah

meniup terompet usang yang terbakar senyum bulan kemarin


Orang orang linglung ngucur keringat

buku harian di koran dan televisi

linglung beratus-ratus kakus bau tikus

Januari 07


Bocah yang Tersesat dalam Jarum Jam

-Muchlis zya aufa


Zya, ku dengar jalan itu penuh teka teki

menyeret dan mendamparkanmu ke nyata dan lain nyata


Gang gang begitu sesak batang yang terkejut patah

daun daun mengempis lepas dari tangkainya

kini doa doa tanggal tersangkut di semak kata kata


Sayap, menjelma kaku batu yang dibawa ke kota

dijual dengan harga jenaka


Zya, lalu bagaimana menerka jalan pulang?

bocah yang tersesat dalam jarum jam

senyap detik genangan kemarau mimpi ibu


Jogja, Januari 07


Ribuan Bintang Berserakan di Kepalamu

Ribuan bintang berserakan di kepalamu

kupetik beberapa, buat penyeka bosan

yang lainnya ku letakkan di tanganmu

buat hadiah tembang kemenangan

meski tak lelap, kita pernah mimpi di pagi buta

bintang bintang di kepalamu menjelma

fragmen dalam hiasan dinding menakjubkan

cinderamata bagi para pelancong di negeri yang kusam

meski tak lelap, kita pernah berdongeng di pagi buta

bintang bintang di kepalamu menjelma

binatang malam mengerikan

merusak ladang mimpi punya kakek yang

memanggil cucu-cucunya dengan sebutan pemalas


Poetika, Januari 07




1 komentar:

www.sangkakaladarma.blogspot.com mengatakan...

kesunyian mengajari kita siasat dan curiga
sementara hujan mengajari kita
betapa lahar dada begitu berharga untuk dikorbankan di hadapan tempias awan
begitu gigil ngilu saat mata beradu mata, bibir silang sengketa kata dan gemeretak gigi menahan hawa kecupan pagi

bersama embun kesiangan
matahari lambat mengucap salam jumpa
mungkin ia alpa atau memang pelupa
sebelum salam tanggal di jendela senja