Buah Kertas, Hadiah Tembangmu
-kakek dasarata
Jadikan aku sinden atas tembangmu,
karena telah kuhafal irama
pada geliatmu
yang setitik nila
Barangkali senyummu sembunyi di balik mata kirimu
dan kelambu pipimu tak sengaja terbang
maka ku tarik lenganmu
ku ikatkan pada rantai penghabisan
Di rapatan malam
aku mengangkangi gemintang dan karibnya
untuk beradu geming
hingga kurebahi segala pulau di kolam bibirmu
Mungkin matamu akan terbang
Jelajah atau malah mengatup di kutub
Kembang-kembang tubuhku bergetar, menyala
dadamu berkabut
___aku tak lagi meniup lentera di jemari kakimu___
September, 2006
Sajak Rindu
Kutandai waktu yang karam
karam karam aku karang
kutatih rasaku runyam
runyam runyam pada ruang
kupendar nanar dengan kenang
kenang kenang begitu rindu
Kutandai waktu yang karam
karam karam aku karang
hingga kelam menjelma purnama
Oktober, 2006
Sepasang Sayapmu Tertinggal di Cakrawala
-
kakek dasarata
Pada klausa langitmu
dinding dan atapnya kau tambal perak
Hingga langit enggan turun penumpang
kau masih sisakan lentera
penyulut api pada tungku rembulan merah
disangga kapal berlayar di cakrawala
gelombangnya adalah gumpal awan
Hingga kini
Sepasang sayapmu tertinggal di pekarangan angkasa
Berabad-abad hingga sebatang tulang
tinggal orang-gorang mengambang terbunuh luka
meranggas racun bersarang sembilu di pagar wajahmu
Oktober, 2006
Parade Gonggong
Anjing-anjing tak bosan melumat bara
bara ambisi para peyot
makin mirip jerangkong
Anjing-anjing berkawan tikus
lelorong jadi pekat bau bacin
malah asyik main lompat tali
jubah-jubah dimantra suap
kendaraan mata ayah
kelabakan di rampok monyet
bisu
melarat model cutbrai
pucat pusara brankas-brankas
November, 2006
Perempuan di Bulan Gerimis
-Aisyiah nabila
Serupa biru
biru dikulum beku
sekat serupa cuaca menjelma parau
sebagaimana bibir letih mengigau
Perempuan di bulan gerimis
tergolek letih usai kembara di ranah kelabu
jika ranting hujan keburu deras
ia meraba air dalam kelu
Ah…bulan gerimis
kenapa waktu menjadi begitu sengit dan deru
kini matamu bertabur abu
adakah baramu di gerogoti gerimis
Perempuan di bulan gerimis
ritmis musik tarianmu
-tak perlu menerka lagi
selaput katakatamu
pengembaraanmu
pengembaramu pulang di bulan berapa
Perempuan di bulan gerimis
tunggulah bara di puncak purnama
Poetika, November 2006
Angka-angka
Poster idola bergeolgeol
jadi santapan aneh di dinding kepala
main boneka telanjang
nampang di etalase
Angka-angka merangkak di gumpalan otak
jadi tetumbal proyek barang antik
beruang berang makin mengerang
makin lahap makan sesaji
Satu, Sepuluh, Seratus, Seribu
Seberapa?
Ah… angka-angka
di tiang gantungan bermerek angka
di alas tidur dan jambanmu
di sepucuk sinyal dan plat motormu
di kantong payudara emakmu
bahkan di perut orok keponakanmu
di lekuk tubuh perekmu
dan di comberan belakang rumah tetanggamu
mereka berhamburan seperti kunangkunang
yang menjulurkan benang matamu
-lain kali biar di pahatkan nisan untuk angkaangka yang tak pernah mati
menahan nyeri di brankas kakek
November, 2006
Kakek Penunggu Hujan
-kakek dasarata
Kakek penunggu hujan
kini menyebulkan asap cerutu
di wajah anakanak yang berkalung nafas
dalam pekat kopi
Bara penghangat tubuhmu tak terbawa pulang
barangkali takut beku sesampai di rumah
Kakek penunggu hujan
kini kacaukan anak bermain kapal di telaga rupa
melempari mereka dengan puntung rokok
-Kek, biarlah mereka merangkai payungnya sendiri
menerka nasib dengan sepetak bara di pucuk rentamu
November, 2006
Suatu Petang di Bantaran Kali Code
Seperti membaui ketiak ribuan anak petang
di gelas kopi timbunan pekat
Lingsut domino meringkus lungkai
pada ranjang kepulan rokok
yang kian gesit lompati gerobak angkring
Petang begitu pasrah memihak keletihan
serupa liku-liku kelam dalam geliat mercury
November, 2006
Satu Episode di Timoho
Asap knalpot berjelaga di pangkal celoteh
serupa arakarakan puisi
yang menari di dedaunan sekalung debu
Jantung berubah denyut
barangkali jadi parade genderang penyambut nyeri
November, 2006
Perempuan dalam Gelas Kopi
Bising cerca
tawatawa
Sekelumit kata tentang rayu dan kelabu
dimana berang barangkali berai
Remangremang
menggenang
kenang
Perempuan ini
perempuan dalam gelas kopiku
Jogja, Desember 06
Lukisan Senja pada Sebuah Rumah Singgah
Lelaki dibingkai kaca jendela
menjelma desis angin selaut pekat
Kini matamu sayu di kumparan ombak
begitu kudengungkan bekumu pada selaput kabut
Lelaki di gelas arakku,
meja perjamuanmu hidangkan angin lalu
yang berubah surut pada lelautmu
macam buih pesona sembunyi di balik
kaca yang makin buram tersapu masa
Ah….kau,
kian sengkarut rambutmu disepuh rona senja
Trisik, Desember 06
Kedai Kopi, pada Suatu Ketika
Ada jamaah boneka catur
lompat tali di undak saraf
meraba lekuk malam
Ada rentetan asbak yang siap di senggamai serbuk latu
Ampas kopi begitu lembut mengecup berbatangbatang rokok
Ada lucut separoh tawa, lirih senandung pasrah:
hujan saja hari ini, takkan ada yang menjahit langit
Desember, 2006
Pada Derak Ingatan
Hujan petang ini mengirimiku kabar
tentang ingatan lelaut pada teras desember lalu
kerangka rumah bambu
menjelma siluet
diatap pepasir yang pasrah terserak panas
lalu dingin
Poetika, Desesember 2006
Ah….Gagu
Setumpuk catatan pada relief wajahmu
tiba-tiba diterpa lindu
menjelma puing bayang yang terseok dalam rona gulita
Lalu bagaimana kelak
menggeliati puisipuisi yang mampat di simpul ragamu
Bagaimana ku
membaca ayat pada ketiak dan selangkangmu
yang kian bacin
Ah…gagu
Desember, 2006
Tangga Masjid, Suatu Malam
Mampat,
Nggumam katakata
Yang melulu padam
Desember, 2006
Suatu Petang di Bantaran Kali Code (2)
Semalaman menyelami kali tawa dan geliatmu
seperti menyelinapi satu rupa di lengan kananku
Semalaman melulu bicaramu
mencari muara
-menggali makna, katamu
Tentang kurakura
semalaman meringis girang
melebur rentetan tawa yang beku berbulanbulan
Desember, 2006
Suatu Petang di Bantaran Kali Code (3)
Tak ada kunangkunang gaib yang menaburkan cahaya
seperti katamu
karena kunangkunang gaib telah kulumat bibirnya bersama
sepasi purnama yang menggenangi netra
tak ada jembatan,
karena batu, kayu dan bambunya telah menjelma
kita,
sampah boneka kurakura mungil yang
membingkai diri pada etalase kali
dan pojok pojok lukisan
ku acuhkan isyarat kelopak mata untuk mengatup
demi dengung alphabet yang menyeruak dari lidahmu
aih…tak ada ampas kopi rupanya,
mungkin mereka pilih menjadi tinta
bagi syahadat kemaraumu yang panjang
kelokan kali
kini kali puisimu keruh ditimpa hujan yang tanggal bermalammalam
alirannya mampat, di lumpuri katakata
Desember, 2006
Kutinggal di Bawah Keringat Cakrawala
Ku tinggal di bawah keringat cakrawala
sehelai sajak beku menunggui bara
kau nggumam, mungkin karena
telah kulumat bibir rembulan dalam pesta pora kesunyian
atau karena aku tak membayar
sajak yang lahir dari tubuh mungilmu?
aih…malah ngiang kupingku
kau mati menjadi hantu di malam buta
mudah saja jika aku mengusirmu
kusemprotkan parfum yang harum benyum di karat usiaku
belulangku keropos di lahap abu, lalu
lantak buyar asin keringat
aih…kini sajak berembun meninggalkan malam
Desember, 2006
Epilog
Seperti menjilati bulu matamu yang tak kunjung berasa asam
tubuhmu masih menyisakan ribuan kelok kata-kata
Kendang di dadamu terus bertalu hingga
orang-orang kesurupan kelakarmu lewat daun mata
yang menghijau di pucuk mimpi
Hingga para awan bergeol menabur serpihan perak,
orang-orang basah lalu nggigil
Desember, 2006
Rel, pada Derak Ingatan
-kakek dasarata
Matahari ketlingsut di rel kereta api
menyerak kerontang dedaunan yang
kian lepas dari tangkainya
padam semburat-semburat merah
kini rembulan dibuntel rupa kisut
terabai pucat redup lilin
rembulan lari ke laut
gelombang kesumat tak amblas
digilas gelagatgelagat gelitik
lari ke stasiun
lebih tepatnya kau banting botol arakmu
di rel keterasingan
lari ke langit
jadwal gerimis carutmarut
langit malah nendang hujan guntur lalu badai
ah…lari
mata batu membelalak di pucuk doadoa
meranggas sesenyap dingin sepertiga malam
Desember 2006