Selasa pagi sekitar pukul 06.30, kami
packing di kost-kostannya mbak Noy di Kusumanegara, berkenalan dengan temannya
dari Medan bernama Dian sambil
menyiapkan, melipat, meringkaskan keperluan kami seperti Tenda, Sleeping Bag, Matras, Kamera, Logistik,
Jas Hujan, Pakaian, dan berbagai keperluan lainnya, diatur dan disimpan sedemikian
rupa di dalam 3 Tas Carrier berkapasitas 60 lt dan
3 tas pinggang untuk diisi barang-barang kecil yang sekiranya sering kami
gunakan seperti handphone, kamera, obat-obatan, camilan dan air minum. Setelah beres, rupanya Gas di tabung mbak Noy
tinggal separo, kami cari aman dan kuputuskan untuk mengambil gas di rumah.
Janjian ketemu dengan mereka di Jombor selepas dari rumah.
Pukul
08.00 Aku kembali pulang ke rumah di Condong Catur untuk mengambil Gas
dan berpamitan ulang kepada orang tuaku. Bersama kekasih kumalku (tas carrier
yang full kebutuhan) Langsung lanjut ke Jombor. Beberapa saat kemudian kuhentikan laju sepeda motorku
di Jombor, menunggu pesan singkat dari Mbak Noy. Karena di Jombor belum tampak
kehadiran mereka, kuputuskan untuk lanjut mengisi bahan bakar sepeda motorku
kemudian menunggu di bawah pohon tepi jalan. Menunggu sambil kubuka handphone
ada status di social media dari Nita* yang membuatku kembali semangat “ cara
untung banyak itu sederhana, Jika dunia menawarkan ketidakpastian kepadamu,
tawarkanlah prasangka baik kepadanya”. (tapi meski begitu, bukan semata-mata
keuntungan yang kucari cari perjalanan ini). Asik aja, Status yang bikin aku
semangat lagi dan kemudian merasakan lapar #eh.
Pukul 08.45 kuputuskan untuk mengisii bahan bakar tubuhku, terbayang nasi
teri, sate telur, ceker dan teh manis.
Pesan singkat ku kirim “ Mbak Noy, Masih lama kah? aku ke Angkringan dulu” Belum sempat terbalas, terlihat penampakan dua
perempuan, yang satu memboncengkan dan yang satu memanggul carrier, motor
mereka berhenti tepat di depanku yang sedang berteduh di bawah pohon dan
menunggu balasan pesan singkat. Mereka menyapa, sambil cengar-cengir di hadapan
perutku yang melintir.
Kami mulai lanjut perjalanan, Mereka
berboncengan, aku memboncengkan kekasih kumalku yang makin erat memelukku dari belakang #eh, Tas
carrier . Sampai area Salam, Magelang, ban motor mbak Noy sedang tidak sepakat
untuk diajak senang-senang pagi itu. Bengkel tambal ban terdekat yang bisa kami akses adalah bengkel tambal
ban mobil. Bapak pekerja di sana mulai bertanya tentang dari mana kami dan mau
kemana, mempersilahkan kami menunggu ban
motor yang akan dieksekusi karena bocor. Beliau mempersilahkan kami menunggu di
ruang tamu yang sangat besar berdinding
dan bersekat ban mobil di sebagian ruang. Bapak pekerja mempersilahkan kami menggunakan
fasilitas Free Wifi dan free Ngeyup*. Selama menunggu, kami bercerita tentang
perjalanan, tentang bagaimana dan dari mana awalnya kami berkenal, tentang
banyak hal. Antara Aku dan mbak Noy, aku dan mbak Dian Entah kenapa kami
seperti sudah saling mengenal sebelumnya, tak terasa tawa kami tumpah
kemana-mana hingga waktu tak kami rasakan lagi merangkaknya.
Waktu menunjukkan pukul 11.00 siang, kami mulai gelisah setelah
kurang lebih dua jam menunggu. Kami bertanya, kembali bertanya kenapa tak kunjung
usai pengerjaan menambal ban motor yang telah menampakkan kejenuhannya pada
sang pemilik ( Ampun mbak Noy)
Akhirnya, bapak pekerja menjelaskan bahwa teknisi untuk ban
motor belum datang, bapak tersebut mencoba tapi belum bisa. Kami bertiga saling
pandang, merasa konyol namun penuh rasa syukur, dapat Wifi, Tongkrongan free,
Free ngeyup. *Terserah Tuhan mau meletakkan kami dimana.
Setelah mendapat cukup penjelasan, bapak
pekerja mengantarkan mbak Noy dan motornya ke bengkel motor yang letaknya
hanya 40 meter dari bengkel mobil
tersebut. Aku dan mbak Dian membawa tas
dan perlengkapan dan satu mtor lagi.
Tiba di sana, ban motor mbak Noy langsung dikerjakan. Ada seorang bapak tua melewati depan
bengkel dengan motor tuanya menyapa, kemudian bertanya persoalan identitas,
kemudian kami mengobrol seperti sudah lama kenal, bapak tersebut juga
menunjuk arah jalan dan menceritakan pengalaman perjalanannya. Tak terasa ban motor mbak Noy sudah selesai disehatkan kurang dari
setengah jam. Kami berpamitan, diiring
doa dan harapan bapak tersebut semoga selamat sampai kembali pulang.
Pukul 11.30 kami bertiga melanjutkan
perjalanan, mbak Noy melanjutkan dengan membawa dua tas carrier sementara aku
memboncengkan mbak dian dengan satu carrier. Kami rasa itu lebih baik untuk
keamanan dan kenyamanan perjalanan kami. Menyusur riuh Muntilan dengan segala
aktivitasnya, kami lalui dengan laju yang tak begitu kencang sambil berdialog
dengan keraguan apakah jalan yang kami tempuh sudah benar? tanyaku dalam hati.
Tersesatlah kami ke jalan yang benar, kataku sambil terus melajukan sepeda
motorku. Kami berbelok ke kanan setelah pertigaan bertuliskan ponpes Gontor. Jalan itu kami lalui dengan sedikit was was karena cuaca muram dan saat itu sudah
pukul 12.00. Aku tak bosan menghibur diriku dengan obrolan obralan kecil cerita
dan mbak Dian pun menceritakan perjalanan-perjalanan sebelumnya.
Waktu
berselang, kenangan baik maupun buruk melintas di jalan-jalan, mengintaiku
seperti keparat-keparat kecil merubung ingatanku dan menggagalkan fous perjalananku.
Segera kupelankan laju sepeda motor, Berakting “ Mbak dian, tolong teriak ke
mbak Noy untuk benerin posisi cariernya yang miring". Mbak Noy segera berhenti
untuk membenahi letak tas carrier yang ia panggul, kami mengikutinya berhenti. Kami
melanjutkan perjalanan kembali, hingga mendung lalu rinai turun seperti butiran
kasih sayang Tuhan, butiran yang sangat lembut. Saat di jalanan yang sepi dan mulai
melewati jalanan beton yang berkelok-kelok dan rawan longsor, hujan turun,
tidak lebat memang, tapi cukup untuk membasahi kekeringan jiwa kami #ehhhh
Baju kami sudah cukup basah, tanggung berhenti untuk sekedar
memakai jas hujan, setelah baju basah semua, baru kami putuskan berhenti di
daerah Sawangan untuk memakai jas hujan dan melindungi carrier yang terlanjur basah karena rembesan
hujan. Selesai bersibuk ria membereskan sisa hujan, hujan pun berhenti.
Kami saling berpandang dan merasa konyol.
Memang menyenangkan berhujan-hujan, tapi itu bukan saat yang tepat.
Sampai
juga di gapura bertuliskan selamat datang di Selo, kelegaan mulai menyirat
keraguan jiwa kami karena masih harus melewati jalanan aspal yang tak mulus.
Rusak dan kadang licin, berpasir. Terus
kulajukan sepeda motor, sebentar lagi akan sampai. Tuhan menunggu di setiap
Trek Merbabu. #eh. Tuhan selalu menyerta
dalam setiap perjalanan. Bertanya pada beberapa orang, di manakah Basecamp Selo
Merbabu? Menunggu mbak Noy bertanya, aku mulai kerasukan kata-kata saat diam
terlalu lama dan menunggu.
_____Aku, diantara Merapi dan Merbabu, titik kami bukan
apa-apa untuk memulai suatu perjalanan
sunyi. Sunyi bukan pada penanda, namun dikedalaman aku Engkau___
____Merapi telah nampak, goresan celah-celah dan jalur
penyatuan cinta. Berdiri gagah seperti laki-laki mendampingi, melindungi sang
istri Merbabu. Berjarak, Selo.___
Setelah selesai bertanya, kami melanjutkan perjalanan, Plang
menunjukkan Selo Merapi sebelah kanan dan Selo Merbabu ke Kiri. Kami lanjutkan
dengan pelan. Memasuki kawasan Selo
Merbabu, kami diantar oleh penjaga pintu masuk ke Gancik. Setelah sepakat
dengan pilihan kami untuk menyusuri Jalur Selo baru via Gancik. Kami diantar hingga basecamp Tiwik (Darwis 2).
Saat itu hanya ada kami dan dua pemuda yang baru turun. Hujan kembali mengguyur, setelah mengobrol
dengan pemilik rumah, kami memesan dua piring nasi goreng dan teh manis,
melanjutkan dengan membongkar packingan carier, memisahkan dan mengganti
pakaian kami yang basah. Menunggu hujan reda
sambil mengobrol adalah hal yang romatis, tiduran ria dan cerita-cerita
konyol para pencari cinta (#ups) menemani kami . Serasa rumah sendiri saja, celoteh riang itu
terhenti seketika tatkala hujan berhenti menyenandungkan nyanyiannya pada bumi.
Hawa dingin menelusupi pori-pori kulit, mengajak tubuh untuk segera bergerak
agar dingin tak melingkupi dinding hati #ehhh
Pukul 16.00 hujan kembali mengguyur, kami putusan untuk
melakukan perjalanan saat tak terlalu deras. Kami berpamitan pada bapak
dan ibu Ami, pemilik basecamp Darwis
2(basecamp Tiwik). Tak ada bonus landai untuk sampai ke Gancik. Treknya berupa
jalan cor blok dan disisi kanan dan kirinya seperti surga dengan ladang
bertanamkan sayur mayur yang bikin kami tak jemu memandang sekitar. Daun
luncang, jipang, kol, seledri, dan
tanaman sayur lainnya jadi pusat perhatian kami saat itu. Merapi menatap dari
sisi belakang kami, dan kamipun sering menoleh ke belakang agar tak terlalu
lelah menempuhi trek cor blok yang terus menanjak. Nyanyian dan sentuhan hujan
berhenti menyambut kami yang makin bergairah melanjutkan perjalanan. Mbak Noy memutar lagu-lagu Silampukau dan Letto sebagai pengiring perjalanan kami.
Sampai Gancik, aku masih dibelakang setelah mbak Noy dan mbak Dian. Kami
berteduh di kedai makanan yang telah tutup. Mbak Noy menawarkan minuman berasa
yang kembali memulihkan tenaga kami untuk terus menajaki trek. Setelah Gancik
Hill Top (Wisata gardu pandang dimana jika sedang cerah dapat menikmati
indahnya Merapi, Merbabu, Lawu, Solo dan
Boyolali. ) Trek cor blok mulai berganti tanah. Tuhan masih merestui kami
dengan cipratan air langitnya (halah sotoy).
Dari Gancik hill Top, kami melanjutkan perjalanan
hingga sampai di hutan kayu, pohon–pohon menambah gelap dan sunyi perjalanan
kami, adzan magrib berkumandang samar-samar, dalam guyurannya hujan, kami
memutuskan untuk beristirahat di tengah hutan, makan jambu biji yang kemudian
kami sebut dengan konyol: “Buah Khuldi”. Kami
bersandar pada batang pohon dan
keteguhan, menikmati sunyinya manjing magrib. Setelah cukup beristirahat dan
menentramkan diri, kami bergerak, malanjutkan perjalanan dengan jalur yang
makin sadis bagiku yang masih pemula. Namun tak mengapa, ini pilihan hidup yang
harus dijalani, tanpa melewati prosesnya, tak mungkin akan sampai. Saat itu aku
teringat kata mbak Noy “kami nggak ngejar puncak, ayo ikut” . Baru terjelaskan
padaku saaat di trek di kediaman hati” ya iyalah, puncak nggak akan kemana-mana
kecuali Tuhan memperjalankannya”. Celoteh riang mbak Dian dan mbak Noy menambah
asik perjalanan malam dalam guyuran hujan.
Suasana kala itu mengingatkanku pada potongan lagu puisi
Sarang Kesenian Mahasiswa UNY (As-Sarkem)
“Bintang gemintang perlahan berlalu
dibawah tempias gerimis di musim lembayung awal petang
Mesra mencumbu rembulan “
Lantunan lagu perlahan mengendap-endap dalam sunyi, sepotong
luka perlahan mengisi sunyi perjalanan, kenangan buruk tiba-tiba muncul mengiringi setiap langkah saat menempuhi hutan kayu. Celoteh
mbak Noy dan mbak Dian makin samar terdengar, aku makin linglung terserap dalam
gelap, gagal fokus. Gemericik air di celah-celah tanah mulai membangunkan
lamunan, jalur air dan trek membuat kami harus sedikit melompat, tak jarang
mbak Noy dan mbak Dian menuntunku, meraih tanganku saat trek sulit
dilalui. setelah melewati hutan yang
tidak terlalu panjang, kami melewati
rumpunan perdu dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tak
bosan-bosan hujan menciumi kami saat perjalanan. Sesekali mbak Dian membenarkan
sandal gunungnya yang kemasukan tanah dan air. Kami sering berhenti sebab aku
yang tak terbiasa mendaki, membuat mereka harus bersabar menungguku yang
berjalan sangat pelan. Tapi canda dan gurau mereka di tengah jalan membuatku
malu untuk beristirahat lebih lama. Merapi masih terlihat mengikuti kami
di belakang, telihat gagah meskipun malam hari. Seperti seorang suami yang
sedang memandangi, memperhatikan istrinya, Merbabu. Di peralanan memang kami sering menengok ke
Merapi karena dapat mengusir lelah kami. Setelah beristirahat di trek, kami
putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mbak Dian berjalan depan dan baru
beberapa langkah, aku sudah mulai kelelahan lagi. kupanggil mbak Dian untuk berhenti
“ Mbak Dian” kataku
“ Mbak Dian!!!” Mbak Noy mengikuti memanggil
Aku dan mbak Noy saling berpandangan karena mbak dian tak
kunjung menoleh ketika dipanggil. Kemudian kami memanggilnya bersamaam
“ Mbak Dian!!!”
Tak menoleh juga dan malah berjalan semakin jauh. Lalu Aku
dan Mbak Noy berteriak bersamaan
“ Abanggggggggg!”
Tanpa basa basi mbak Dian menoleh dengan panggilan Abang.
Kami tertawa tak henti. Selanjutnya kami memanggilnya dengan panggilan Abang.
“ Berhenti dulu Bang,, Adek Lelah” kataku
Kami kembali beristirahat di trek , tak peduli kecantikan,
kotor, kumal, ada tanah sedikit landai, kami ambruk di sana. Masih dihujani
cinta semesta. Mematikan senter dan
headlamp untuk menghemat baterai, lalu pejam sejenak di tanah yang makin basah.
Kadang merasa perjalanan makin lambat karenaku. Karena merasa
bersalah, aku memacu diri untuk terus berjalan, tak ingin mengecewakan mereka
yang terlanjur kecewa. Meski target kami bukan puncak.
Bayang-bayang merapi masih nampak dalam pandangan kami,
keindahan makin memikat hingga kami tak betah berlama-lama untuk beristirahat.
“Ayo, pengen tidur enak nggak? Maksimalkan lelahnya” kata
mbak Noy
Aku patuh, apapun.
Sebelum pos 2, kami mendirikan tenda di samping satu tenda yang
berdiri di sana. Kami beristirahat. Hingga pagi menjelang, mbak Noy bikin
wedang jahe untuk mengahangatkan tubuh kami yang makin dingin. Aku tak bisa tidur, untuk menghilangkan lelahku aku terpejam meski tanpa tidur. Pukul 7 pagi,
mbak Noy membuatkan kami wedang jahe dengan sere, juga jelly sagu mutiara yang cukup untuk sarapan kami. setelah sarapan, kami menaiki bukit dan kemudian menuruninya hingga hingga di pos pertemuan dari segala jalur. Di
sana, banyak tenda, dan sapaan hangat para penghuni camp.
Makin semangat kami,
melanjutkan perjalanan.
Kami beristirahat di Sabana 1, menyempatkan Istirahat di
sabana 1, Wedang jahe yang sudah dingin dan Jelly mutiara buatan Mbak Noy cukup
melegakan perut kami. Tak sampai 15 menit, kami lanjutkan perjalanan menuju
Sabana II. Hamparan rumput yang luas
membuat kami betah berlama-lama berjalan sangat santai, menghirup udaranya
dalam-dalam, dan berdiri sejenak di serambi surga luas dan hijau itu, dengan
garis-garis cinta, Tuhan meletakkan bukit-bukit dan menyembunyikan bukit-bukit
lain di belakangnya. Misteri itu jauh lebih menyenangkan daripada terburu-buru
mendapatkan sesuatu. Kami berdiri cukup lama, terpejam, merasakan atmosfer
keindahannya, menghirupnya dalam-dalam. kabut mulai menyertai perjalanan, kami
bergegas melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya
Bukit demi bukit kami lewati, sesekali pendaki lain bertanya
beberapa pertanyaan yang sama dilontarkan pendaki lain yang kami temui
sebelumnya. Tak jarang mereka mengajak kami berfoto bersama, membuat video
pertemuan yang singkat dan ngobrol ringan yang tak penting, bukan muatan
obrolannya, tapi apakah obrolan itu membuat kami menjadi manusia atau tidak,
mempersatukan kami atau tidak dan memesrakan kami sebagai makhluknya atau
tidak.
Pos Watu Lumpang, kami beristirahat. Suasana mencekam ketika
berada di pos ini, tak berlama-lama, kami melanjutkan perjalanan._______________________________________