H i l a n g II

Sajak sajak dalam ingatan
Berlarian di sepanjang hujan
Sore ini
Rebah tubuh usai lelah
Menghimpun cita dan tujuan
Aku, kau dan mimpi
Tak lagi memerlukan keterwujudan
Yang melulu fana

2019

J A R A K

aku di laut selatan dan engkau utara
tidakkah kau ingin menyusur belah pulau ini, Sayang?
atau kau lebih nyaman melintang di barat?

di tanah perbani, putra-putri kita
menunggu romo biyungnya
bercerita kisah lusuh tentang tembakau dan pertiwi
tentang petualangan romonya di negeri ngeri tanpa ampun
__tapi tak melulu ngeri
    semesta sangat menyayangi kita

suatu sore,
kini, atau kelak
si sulung bertanya tentang langgar
suku-suku, sungai, lautan, darat, udara, gunung-gunung, goa-goa
pulau-pulau yang pernah disinggahi romonya


kesayangan bertanya sambil dolanan dakon
bersama kucing dan anjing-anjing
dimana romo?

kesayangan bertanya sambil memberi makan ikan-ikan dan ayam
dimana kita semua?
dimana biyung?

kesayangan bertanya sambil menanam bungan di ladang gersang
dimana kita semua?

Si ragil menyusul bertanya
Dimanakah  pertiwi?

November 2016

Jalur Cahaya



Selasa pagi sekitar pukul 06.30, kami packing di kost-kostannya mbak Noy di Kusumanegara, berkenalan dengan temannya dari  Medan bernama Dian sambil menyiapkan, melipat, meringkaskan keperluan kami seperti  Tenda, Sleeping Bag, Matras, Kamera, Logistik, Jas Hujan, Pakaian, dan berbagai keperluan lainnya, diatur dan disimpan sedemikian rupa di dalam 3 Tas Carrier berkapasitas  60 lt dan  3 tas pinggang untuk diisi barang-barang kecil yang sekiranya sering kami gunakan seperti handphone, kamera, obat-obatan, camilan dan air minum.  Setelah beres, rupanya Gas di tabung mbak Noy tinggal separo, kami cari aman dan kuputuskan untuk mengambil gas di rumah. Janjian ketemu dengan mereka di Jombor selepas dari rumah.
Pukul  08.00 Aku kembali pulang ke rumah di Condong Catur untuk mengambil Gas dan berpamitan ulang kepada orang tuaku. Bersama kekasih kumalku (tas carrier yang full kebutuhan) Langsung lanjut ke Jombor. Beberapa  saat kemudian kuhentikan laju sepeda motorku di Jombor, menunggu pesan singkat dari Mbak Noy. Karena di Jombor belum tampak kehadiran mereka, kuputuskan untuk lanjut mengisi bahan bakar sepeda motorku kemudian menunggu di bawah pohon tepi jalan. Menunggu sambil kubuka handphone ada status di social media dari Nita* yang membuatku kembali semangat “ cara untung banyak itu sederhana, Jika dunia menawarkan ketidakpastian kepadamu, tawarkanlah prasangka baik kepadanya”. (tapi meski begitu, bukan semata-mata keuntungan yang kucari cari perjalanan ini). Asik aja, Status yang bikin aku semangat lagi dan kemudian merasakan lapar #eh. 
Pukul 08.45 kuputuskan untuk  mengisii bahan bakar tubuhku, terbayang nasi teri, sate telur, ceker dan teh  manis. Pesan singkat ku kirim “ Mbak Noy, Masih lama kah? aku ke Angkringan dulu”  Belum sempat terbalas, terlihat penampakan dua perempuan, yang satu memboncengkan dan yang satu memanggul carrier, motor mereka berhenti tepat di depanku yang sedang berteduh di bawah pohon dan menunggu balasan pesan singkat. Mereka menyapa, sambil cengar-cengir di hadapan perutku yang melintir.
Kami mulai lanjut perjalanan, Mereka berboncengan, aku memboncengkan kekasih kumalku  yang makin erat memelukku dari belakang #eh, Tas carrier . Sampai area Salam, Magelang, ban motor mbak Noy sedang tidak sepakat untuk diajak senang-senang pagi itu. Bengkel tambal ban terdekat  yang bisa kami akses adalah bengkel tambal ban mobil. Bapak pekerja di sana mulai bertanya tentang dari mana kami dan mau kemana, mempersilahkan kami menunggu  ban motor yang akan dieksekusi karena bocor. Beliau mempersilahkan kami menunggu di ruang tamu yang sangat besar berdinding  dan bersekat ban mobil di sebagian ruang.  Bapak pekerja mempersilahkan kami menggunakan fasilitas Free Wifi dan free Ngeyup*.  Selama menunggu, kami bercerita tentang perjalanan, tentang bagaimana dan dari mana awalnya kami berkenal, tentang banyak hal. Antara Aku dan mbak Noy, aku dan mbak Dian Entah kenapa kami seperti sudah saling mengenal sebelumnya, tak terasa tawa kami tumpah kemana-mana hingga waktu tak kami rasakan lagi merangkaknya. 
Waktu menunjukkan pukul  11.00 siang, kami mulai gelisah setelah kurang lebih dua jam menunggu. Kami bertanya, kembali bertanya kenapa tak kunjung usai pengerjaan menambal ban motor yang telah menampakkan kejenuhannya pada sang pemilik ( Ampun  mbak Noy)
Akhirnya, bapak pekerja menjelaskan bahwa teknisi untuk ban motor belum datang, bapak tersebut mencoba tapi belum bisa. Kami bertiga saling pandang, merasa konyol namun penuh rasa syukur, dapat Wifi, Tongkrongan free, Free ngeyup. *Terserah Tuhan mau meletakkan kami  dimana.
Setelah mendapat cukup penjelasan, bapak pekerja mengantarkan mbak Noy dan motornya ke bengkel motor yang letaknya hanya  40 meter dari bengkel mobil tersebut.  Aku dan mbak Dian membawa tas dan perlengkapan  dan satu mtor lagi. Tiba di sana, ban motor mbak Noy langsung dikerjakan. Ada seorang bapak tua melewati depan bengkel dengan motor tuanya menyapa, kemudian bertanya persoalan identitas, kemudian  kami mengobrol  seperti sudah lama kenal, bapak tersebut juga menunjuk arah jalan dan menceritakan pengalaman perjalanannya.  Tak terasa ban motor  mbak Noy sudah selesai disehatkan kurang dari setengah jam.   Kami berpamitan, diiring doa dan harapan bapak tersebut semoga selamat sampai kembali pulang.
Pukul 11.30 kami bertiga melanjutkan perjalanan, mbak Noy melanjutkan dengan membawa dua tas carrier sementara aku memboncengkan mbak dian dengan satu carrier. Kami rasa itu lebih baik untuk keamanan dan kenyamanan perjalanan kami. Menyusur riuh Muntilan dengan segala aktivitasnya, kami lalui dengan laju yang tak begitu kencang sambil berdialog dengan keraguan apakah jalan yang kami tempuh sudah benar? tanyaku dalam hati. Tersesatlah kami ke jalan yang benar, kataku sambil terus melajukan sepeda motorku. Kami berbelok ke kanan setelah pertigaan bertuliskan ponpes Gontor. Jalan itu kami lalui dengan sedikit was was karena cuaca muram dan saat itu sudah pukul 12.00. Aku tak bosan menghibur diriku dengan obrolan obralan kecil cerita dan mbak Dian pun menceritakan perjalanan-perjalanan sebelumnya.
             Waktu berselang, kenangan baik maupun buruk melintas di jalan-jalan, mengintaiku seperti keparat-keparat kecil merubung ingatanku dan menggagalkan fous perjalananku. Segera kupelankan laju sepeda motor, Berakting “ Mbak dian, tolong teriak ke mbak Noy untuk benerin posisi cariernya yang miring".  Mbak Noy segera berhenti untuk membenahi letak tas carrier yang ia panggul, kami mengikutinya berhenti. Kami melanjutkan perjalanan kembali, hingga mendung lalu rinai turun seperti butiran kasih sayang Tuhan, butiran yang sangat lembut. Saat di jalanan yang sepi dan mulai melewati jalanan beton yang berkelok-kelok dan rawan longsor, hujan turun, tidak lebat memang, tapi cukup untuk membasahi kekeringan jiwa kami #ehhhh
             Baju kami sudah cukup basah, tanggung berhenti untuk sekedar memakai jas hujan, setelah baju basah semua, baru kami putuskan berhenti di daerah Sawangan untuk memakai jas hujan dan melindungi carrier yang terlanjur basah karena rembesan hujan. Selesai bersibuk ria membereskan sisa hujan,  hujan pun berhenti. Kami saling berpandang dan merasa konyol.  Memang menyenangkan berhujan-hujan, tapi itu bukan saat yang tepat.
                Sampai juga di gapura bertuliskan selamat datang di Selo, kelegaan mulai menyirat keraguan jiwa kami karena masih harus melewati jalanan aspal yang tak mulus. Rusak  dan kadang licin, berpasir. Terus kulajukan sepeda motor, sebentar lagi akan sampai. Tuhan menunggu di setiap Trek Merbabu. #eh.  Tuhan selalu menyerta dalam setiap perjalanan. Bertanya pada beberapa orang, di manakah Basecamp Selo Merbabu? Menunggu mbak Noy bertanya, aku mulai kerasukan kata-kata saat diam terlalu lama dan menunggu.
_____Aku, diantara Merapi dan Merbabu, titik kami bukan apa-apa untuk memulai  suatu perjalanan sunyi. Sunyi bukan pada penanda, namun dikedalaman aku Engkau___
____Merapi telah nampak, goresan celah-celah dan jalur penyatuan cinta. Berdiri gagah seperti laki-laki mendampingi, melindungi sang istri Merbabu. Berjarak, Selo.___
Setelah selesai bertanya, kami melanjutkan perjalanan, Plang menunjukkan Selo Merapi sebelah kanan dan Selo Merbabu ke Kiri. Kami lanjutkan dengan  pelan. Memasuki  kawasan Selo Merbabu, kami diantar oleh penjaga pintu masuk ke Gancik. Setelah sepakat dengan pilihan kami untuk menyusuri Jalur Selo baru via Gancik. Kami  diantar hingga basecamp Tiwik (Darwis 2). Saat itu hanya ada kami dan dua pemuda yang baru turun.  Hujan kembali mengguyur, setelah mengobrol dengan pemilik rumah, kami memesan dua piring nasi goreng dan teh manis, melanjutkan dengan membongkar packingan carier, memisahkan dan mengganti pakaian kami yang basah. Menunggu hujan reda  sambil mengobrol adalah hal yang romatis, tiduran ria dan cerita-cerita konyol  para pencari cinta (#ups)  menemani kami .  Serasa rumah sendiri saja, celoteh riang itu terhenti seketika tatkala hujan berhenti menyenandungkan nyanyiannya pada bumi. Hawa dingin menelusupi pori-pori kulit, mengajak tubuh untuk segera bergerak agar dingin tak melingkupi dinding hati #ehhh
Pukul 16.00 hujan kembali mengguyur, kami putusan untuk melakukan perjalanan saat tak terlalu deras. Kami berpamitan pada bapak dan  ibu Ami, pemilik basecamp Darwis 2(basecamp Tiwik). Tak ada bonus landai untuk sampai ke Gancik. Treknya berupa jalan cor blok dan disisi kanan dan kirinya seperti surga dengan ladang bertanamkan sayur mayur yang bikin kami tak jemu memandang sekitar. Daun luncang, jipang, kol, seledri,  dan tanaman sayur lainnya jadi pusat perhatian kami saat itu. Merapi menatap dari sisi belakang kami, dan kamipun sering menoleh ke belakang agar tak terlalu lelah menempuhi trek cor blok yang terus menanjak. Nyanyian dan sentuhan hujan berhenti menyambut kami yang makin bergairah melanjutkan perjalanan.  Mbak Noy memutar lagu-lagu Silampukau  dan Letto sebagai pengiring perjalanan kami. Sampai Gancik, aku masih dibelakang setelah mbak Noy dan mbak Dian. Kami berteduh di kedai makanan yang telah tutup. Mbak Noy menawarkan minuman berasa yang kembali memulihkan tenaga kami untuk terus menajaki trek. Setelah Gancik Hill Top (Wisata gardu pandang dimana jika sedang cerah dapat menikmati indahnya Merapi, Merbabu, Lawu,  Solo dan Boyolali. ) Trek cor blok mulai berganti tanah. Tuhan masih merestui kami dengan cipratan air langitnya (halah sotoy). 
            Dari Gancik hill Top, kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di hutan kayu, pohon–pohon menambah gelap dan sunyi perjalanan kami, adzan magrib berkumandang samar-samar, dalam guyurannya hujan, kami memutuskan untuk beristirahat di tengah hutan, makan jambu biji yang kemudian kami sebut dengan konyol:  “Buah Khuldi”. Kami bersandar pada  batang pohon dan keteguhan, menikmati sunyinya manjing magrib. Setelah cukup beristirahat dan menentramkan diri, kami bergerak, malanjutkan perjalanan dengan jalur yang makin sadis bagiku yang masih pemula. Namun tak mengapa, ini pilihan hidup yang harus dijalani, tanpa melewati prosesnya, tak mungkin akan sampai. Saat itu aku teringat kata mbak Noy “kami nggak ngejar puncak, ayo ikut” . Baru terjelaskan padaku saaat di trek di kediaman hati” ya iyalah, puncak nggak akan kemana-mana kecuali Tuhan memperjalankannya”. Celoteh riang mbak Dian dan mbak Noy menambah asik perjalanan malam dalam guyuran hujan. 
Suasana kala itu mengingatkanku pada potongan lagu puisi Sarang Kesenian Mahasiswa UNY (As-Sarkem)
“Bintang gemintang perlahan berlalu
dibawah tempias gerimis di musim lembayung awal petang
Mesra mencumbu rembulan “
Lantunan lagu perlahan mengendap-endap dalam sunyi, sepotong luka perlahan mengisi sunyi perjalanan, kenangan buruk tiba-tiba muncul  mengiringi setiap langkah saat menempuhi hutan kayu. Celoteh mbak Noy dan mbak Dian makin samar terdengar, aku makin linglung terserap dalam gelap, gagal fokus. Gemericik air di celah-celah tanah mulai membangunkan lamunan, jalur air dan trek membuat kami harus sedikit melompat, tak jarang mbak Noy dan mbak Dian menuntunku, meraih tanganku saat trek sulit dilalui.  setelah melewati hutan yang tidak terlalu panjang, kami melewati  rumpunan perdu dan kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tak bosan-bosan hujan menciumi kami saat perjalanan. Sesekali mbak Dian membenarkan sandal gunungnya yang kemasukan tanah dan air. Kami sering berhenti sebab aku yang tak terbiasa mendaki, membuat mereka harus bersabar menungguku yang berjalan sangat pelan. Tapi canda dan gurau mereka di tengah jalan membuatku malu untuk beristirahat lebih lama. Merapi masih terlihat mengikuti kami di belakang, telihat gagah meskipun malam hari. Seperti seorang suami yang sedang memandangi, memperhatikan istrinya, Merbabu.  Di peralanan memang kami sering menengok ke Merapi karena dapat mengusir lelah kami. Setelah beristirahat di trek, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mbak Dian berjalan depan dan baru beberapa langkah, aku sudah mulai kelelahan lagi.  kupanggil mbak Dian untuk berhenti
“ Mbak Dian” kataku
“ Mbak Dian!!!” Mbak Noy mengikuti memanggil
Aku dan mbak Noy saling berpandangan karena mbak dian tak kunjung menoleh ketika dipanggil.  Kemudian kami memanggilnya bersamaam
“ Mbak Dian!!!”
Tak menoleh juga dan malah berjalan semakin jauh. Lalu Aku dan Mbak Noy berteriak bersamaan
 “ Abanggggggggg!”
Tanpa basa basi mbak Dian menoleh dengan panggilan Abang. Kami tertawa tak henti. Selanjutnya kami memanggilnya dengan panggilan Abang.
“ Berhenti dulu Bang,, Adek Lelah” kataku
Kami kembali beristirahat di trek , tak peduli kecantikan, kotor, kumal, ada tanah sedikit landai, kami ambruk di sana. Masih dihujani cinta semesta.  Mematikan senter dan headlamp untuk menghemat baterai, lalu pejam sejenak di tanah yang makin basah.  
Kadang merasa perjalanan makin lambat karenaku. Karena merasa bersalah, aku memacu diri untuk terus berjalan, tak ingin mengecewakan mereka yang terlanjur kecewa. Meski target kami bukan puncak.
Bayang-bayang merapi masih nampak dalam pandangan kami, keindahan makin memikat hingga kami tak betah berlama-lama untuk beristirahat.
“Ayo, pengen tidur enak nggak? Maksimalkan lelahnya” kata mbak Noy
Aku patuh, apapun.
Sebelum pos 2, kami mendirikan tenda di samping satu tenda yang berdiri di sana. Kami beristirahat. Hingga pagi menjelang, mbak Noy bikin wedang jahe untuk mengahangatkan tubuh kami yang makin dingin. Aku tak bisa tidur, untuk menghilangkan lelahku aku terpejam meski tanpa tidur.  Pukul 7 pagi, mbak Noy membuatkan kami wedang jahe dengan sere, juga jelly sagu mutiara yang cukup untuk sarapan kami. setelah sarapan, kami menaiki bukit dan kemudian menuruninya hingga hingga di pos pertemuan dari segala jalur. Di sana, banyak tenda, dan sapaan hangat para penghuni camp. 
Makin semangat kami, melanjutkan perjalanan.

Kami beristirahat di Sabana 1, menyempatkan Istirahat di sabana 1, Wedang jahe yang sudah dingin dan Jelly mutiara buatan Mbak Noy cukup melegakan perut kami. Tak sampai 15 menit, kami lanjutkan perjalanan menuju Sabana II. Hamparan rumput yang  luas membuat kami betah berlama-lama berjalan sangat santai, menghirup udaranya dalam-dalam, dan berdiri sejenak di serambi surga luas dan hijau itu, dengan garis-garis cinta, Tuhan meletakkan bukit-bukit dan menyembunyikan bukit-bukit lain di belakangnya. Misteri itu jauh lebih menyenangkan daripada terburu-buru mendapatkan sesuatu. Kami berdiri cukup lama, terpejam, merasakan atmosfer keindahannya, menghirupnya dalam-dalam. kabut mulai menyertai perjalanan, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya

Bukit demi bukit kami lewati, sesekali pendaki lain bertanya beberapa pertanyaan yang sama dilontarkan pendaki lain yang kami temui sebelumnya. Tak jarang mereka mengajak kami berfoto bersama, membuat video pertemuan yang singkat dan ngobrol ringan yang tak penting, bukan muatan obrolannya, tapi apakah obrolan itu membuat kami menjadi manusia atau tidak, mempersatukan kami atau tidak dan memesrakan kami sebagai makhluknya atau tidak. 
Pos Watu Lumpang, kami beristirahat. Suasana mencekam ketika berada di pos ini, tak berlama-lama, kami melanjutkan perjalanan._______________________________________








H I L A N G

Mencari
Engkau
Menyusur hutan hutan kayu
Beradu aliran hujan
Lumpur dan jarak  makin kelu ditempuhi

Menep
Menepi diri di balik bukit bukit kemayu
Aroma tanahmu bikin makin cemburu
Syahdu rinai renggut cinta picisan dari
Keruh muslihat dan luka luka
Lalu  laku apa berseru rindu?
Tirakat  sunyi belantara kalbu
Pikir apa menanjaki setiap inci kesombongan?

Sumpah dewa ditutur saat perjalanan di taman  edelweis
Lalu dilupa habis racun semesta merasuk dinding kalbu
Sepakat dengan angin di eloknya sabana
Akad  murah  pada samudera awan dan tempias mentari
Menantu palsu perkawinan diri dengan semesta
Telanjang
Luruh di beranda agungmu
Di tiupan badai dan percikan air langitmu
Aku gigil dicelah bumimu, aliran arahmu
Jalur lajurmu berhijab kabut
Kabur pandang  setiap percabangan
aku, sepotong kecil apa saja yang
Memanggul kepalsuan
Dosa doa pinta bersua
Pilih bahagia murahan atau meramu harga diri
Di puncak cahyamu, tak kutemukan Engkau melainkan
Diriku sendiri

Oktober 2016

R a c u n S e m e s t a II

Bulan bualan merebutmu dari kesunyian
Sajen komplit televisi dan handphone
Menggerus dinding dingin malam
Pun engkau larut,pasrah dalam kejahatan
Bukan tak asik musik pabrikan kecut
Diam-diam menggiring bebek bebek
Masuk kubangan lumpur dusta
Panca indra kebebasan menidurkan akal
Kau lahap habis,kau dengar habis, kau puja kau ikuti sampai kau hilang dalam rimba sosial media
Lalu engkau lelah, engkau istirah
Sambil mendengar kepalsuan kepalsuan
Kau minum air tanahmu yang diolah  keserakahan
kau kunyah habis  matahari
tanpa ampas sisa sia
Kau tanam plastik dan beton
Tangan kuasamu lebur martabat

Tak melulu engkau juga aku
Meringis telanjang
Puja berhala

Agustus 2016



R a c u n S e m e s t a

Mustahil kurayakan ritual 
Pernyataan akad semesta
Junjungan hijau pertiwi
Lindas kena gores anak tualang 
Yang linglung
Silau imaji pukau obsesi
Sampah serapah menggunung
Gugur perisai tanah merah
sisa hajat dan tirakat gerimis
Taburi murka peracun tengil

Agustus 2016



G e m b a l a A n j i n g

Karena aku menuntunnya
Engkau dan aku berjarak
Atas keputusan keputusan
Yang kau yakini benar

Kau tuding tuding letak iman
Yang ruangnya tak dapat diduga
Karena memberi makan dirinya
Kau kutip ayat penghancur
Kau kutuki setiap gerak gerikku
Padahal kesucianmu berhala

Bukan kambing namun anjing
Kubawa  kesayangan
Makan bangkai dan memunguti sampah kehidupan
Menciumi bau busuk oplosan kepalsuan
Kubawa kesayangan
Menciumi tanah dan sungai sungai purba
Mengendus tulang tulang yang terkubur dalam ketidakpasian
Menelusuri gua gua dan terus mencari lentera sejati
Kesayangan lari ke hutan
Menyisir setia yang pudar seiring waktu
Kesayangan lari ke kota
Menjilat remah remah rembulan yang digilas lampu lampu
Kesayangan menyusur jalan
Mengangkut debu dan matahari
Buat penyuci kesombongan
Kesayangan menghilang
Menubruk besi karet beranak timbal
Terlempar di telaga lengang
Dan kami sama sama kehilangan

Agustus 2016